Hitam dan Putih

Banyak orang menyederhanakan kehidupan ini menjadi hanya dua warna, hitam dan putih. Mengapa? Hal ini diyakini akan memudahkan seseorang dalam menjalankan roda kehidupannya. Misalnya, ketika melihat orang yang mencuri, orang otomatis akan mencap dia sebagai hitam, karena mencuri merupakan tindakan yang tercela. Setelah itu, demi kemudahan berikutnya, si orang yang telah dicap hitam tersebut akan mengalami stigma bahwa dia hitam, mungkin seumur hidupnya. Setiap apa yang dia kerjakan menjadi berwarna hitam, bahkan ketika dia melakukan tindakan yang jelas berwarna putih, akan ada orang yang tetap menganggap hitam apa yang dia lakukan. Sekali maling, maka semua tindakannya akan dianggap tindakan maling. Dia berjalan, disebut jalannya maling, dia makan, dikatakan bahwa maling sedang makan, bahkan ketika dia mencopet, dikatakan itu cara mencopetnya maling…..eh….itu sih sama aja ya…😅.

Oleh karena itu, muncul istilah pencitraan, orang berbuat baik agar menimbulkan kesan baik, orang menggunakan baju koko, peci dan sarung agar terlihat alim, orang memanjangkan jenggot agar terlihat nyunnah, orang menghitamkan keningnya agar terlihat rajin sujud. Dalam Islam, hal ini disebut dengan riya’, dan lawannya adalah ikhlas. Tentunya banyak juga orang yang melakukan kebaikan/sunnah bukan karena pencitraan.

Melihat kenyataan di atas, ternyata banyak aspek kehidupan yang tidak seperti harapan yang muncul dari penyederhanaan menjadi hitam dan putih belaka.  Banyak hal yang berada di area yang bukan hitam dan putih. Ada yang menyebutnya area abu-abu, tapi bagi saya, dunia jauh lebih kompleks, tidak hanya hitam putih ataupun abu-abu saja. Dunia sangat penuh dengan warna, pelangi saja ada 7 warna di luar hitam, putih dan abu-abu.

Yang repot, ketika ada orang yang melakukan hal yang tampaknya putih, padahal hitam. Misalnya, ada orang yang dengan berlindung dibalik ungkapan “takabbur ‘alal mutakabbir shodaqoh” untuk menyombongkan diri di depan jama’ahnya. Memangnya semua jama’ah dia itu orang sombong semua, sehingga dia berhak menyombongkan diri di depan mereka, sambil merasa ber-shodaqoh karena menganggap dirinya sedang sombong ke orang sombong yang dia maksud, bukan ke jama’ahnya, padahal si orang sombongnya sendiri mungkin tidak mendengarkan atau bahkan tidak tahu-menahu ceramahnya dia?

Sering juga terjadi, sekali orang sudah di cap hitam, maka, walaupun sudah bertaubat dan meneguhkan diri untuk tidak melakukan hal yang hitam lagi dan menjadi benar-benar putih, tetap mendapat stigma hitam. Begitu pun sebaliknya, ketika orang memiliki penampilan yang putih, dan sudah dianggap putih, ketika dia melakukan hal yang hitam, akan ada orang yang tetap menganggap dia putih tak bernoda.

Kenyataannya, hidup itu dinamis, manusia juga, hari ini belum tentu dia putih bersih, bisa jadi kuning muda, mungkin besoknya akan coklat, dan lusa putih lagi. Lebih baik kita berpikir positif dan objektif terhadap segala sesuatu di kehidupan ini, sehingga tidak terombang-ambing berita yang belum tentu kebenarannya. Hindari prasangka, karena Allah SWT pun memerintahkan hal tersebut pada QS Al-Hujuraat ayat 12.

Leave a comment

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑